Cerpen: Di Negeri Orang

Alhamdulillah hari ini ada kesempatan lagi untuk share sebuah cerpen. Cerpen ini Saya buat saat masih kuliah. Kisah di dalamnya bercerita tentang keluarga. Cerpen dengan judul di negeri orang ini sepertinya akan menghibur pembaca setia blog tolongtangtugas.web.id.

Selamat membaca.!


Di Negeri Orang

Cerpen di negeri orang
tolongtangtugas.web.id

“Malam yang indah, bukan?”. Mas Bandi membisikkan kata indah itu ditelinga kiriku.
 “Iya mas, malam yang indah”. Aku menyambung sapa suara itu. Entah apa yang terjadi. Kalimat itu terus terdengar walau ucapan lain berjatuhan ditelinga. 
Malam itu terasa sangat berat bagiku. Bukan tanpa alasan. Saat itu adalah malam terakhir aku melihat orang yang berharga dalam hidupku.

Mas Bandi adalah satu- satunya orang yang paling bisa membuatku tersenyum. Sepeninggal orang tuaku, dia begitu menyayangiku. Dia pernah berkata bahwa aku adalah perhiasan dalam hidupnya. Semenjak ijab qobul di depan penghulu dua tahun lalu, kami hidup bersama dan membangun keluarga yang kami idamkan. Dialah sosok suami yang yang aku impikan. Suami yang bisa mengayomi dan bertanggung jawab pada keluarganya.

“Mungkin malam ini adalah malam terakhir kita bertemu. Tapi, aku harap kamu bisa menjaga kepercayaanku”. 

Aku mengangguk lemah, mendengar ucapan mas Bandi. Dia akan berangkat mengadu nasib di negeri orang. Perasaanku campur aduk hingga aku tidak bisa berucap sepatah katapun. Bibirku terasa tertutup untuk menjawab kata mas Bandi. Entah apa yang terjadi padaku saat itu. Semuanya terasa berat aku lakukan. Aku benci diriku saat itu.

Hingga mas Bandi pun berangkat. Di Bandara Juanda Dia melambaikan tangannya. Sempat aku tak percaya. Dia seperti masih berada dihadapanku. Wajahnya masih lekat dimata. Namun, aku tersadar. Semua hanyalah kenangan sesaat. Dia sudah sampai di negeri orang. Merantau. Mengadu nasib untuk keluarganya.

“Aku sudah sampai. Disini aku bersama banyak teman seperjuangan dari Indonesia. Kamu jangan hawatir. Jaga dirimu baik- baik. Nanti saat semua sudah cukup, aku akan pulang”.
Begitulah kabar yang kuterima dari mas Bandi setelah sebualan lamanya dia pergi. Surat itu seakan melepas rinduku padanya. Walau hanya sepenggal tulisan pada secarik kertas putih yang kusimpan sampai sekarang. 

Kini sudah tiga tahun dia pergi. Entah bagaimana wajahnya sekarang. Surat yang rutin tiap bulan Dia kirim tak lagi membuatku lega membacanya. Aku ingin bertemu. Melepaskan semua ingin yang hendak aku sampaikan padanya. Mendengarkan kisahnya disana yang jauh bertahun- tahun lamanya. 

Kadang aku berfikir, apakah dia juga sepertiku disini. Lelah. 

Aku mencari kesibukan yang mungkin membuatku sedikit terhibur atau melupakan ingin jumpaku pada mas Bandi. 

Sampai pikiran itu muncul lagi. Aku pun membatin. 

“Aku yakin mas Bandi pun akan melakukan hal yang sama. Dia yang berjanji padaku setiap duduk bersama. Mengatakan hal yang tidak mungkin aku lupakan. Aku akan selalu ingat padamu.” Begitulah caraku mengobati diri saat dihampiri rasa yang tak jelas.

 “tok, tok, tok. Permisi.” Suara pintu depan rumahku berbunyi. Pasti tukang pos yang sering mengantarkan surat mas Bandi.

“Iya, tunggu sebentar.” Aku menjawab keras sambil berlari dari dapur belakang.

“Maaf, ibuk. Seperti biasa. Silahkan di terima suratnya.” Tukang pos itu berkata.
“Terima kasih.” Jawabku. 

Aku bergegas masuk kedalam rumah. Tidak sabar membaca kesekian kali surat yang mas Bandi kirimkan. Namun, surat kali ini sedikit berbeda. Agak tebal. 

“kira- kira apa isinya?.” aku bertanya lirih dalam hati.

Aku membuka amplop surat itu. Isinya selembar surat dan beberapa potong foto. Aku tersenyum. Mas Bandi mengirimkan foto saat Dia bekerja disana. Agak hitam. Namun masih bisa aku kenali. Tubuhnya agak kurus. Mungkin Dia disana bekerja keras sampai lupa makan.

Dia menuliskan surat tentang kerinduannya padanku di Indonesia. 

“Istriku. Aku sangat merindukanmu disini.”

“Kamu apa kabar.?”

“Semoga tuhan melindungimu disana.”

“Aku tidak bisa berbuat banyak. Hanya foto itu yang dapat aku kirimkan. Mungkin tidak banyak mengobati, ketimbang berjumpa langsung. Semoga kau tersenyum membacanya.”

Begitulah penggalan surat mas Mandi kali ini. Aku menangis membacanya. Bagaimana tidak.  Aku merindukan sosoknya hadir di hadapanku. Rasanya ingin melepas rindu. Namun, apalah angan ku ini. Semua tinggal keinginan saja. Tak terpenuhi. Mas Bandi masih jauh disana. Masih harus menunggu lagi.

Aku pun menaruh foto- foto yang mas Bandi kirimkan dikamar. Berharap mengobati setiap ingin yang timbul saat aku mengingatNya. Foto itu ada yang kutempelkan di dinding kamar. Ada pula yang kusimpan di lemari baju sampai ada yang kuselipkan di bawah bantal tidurku, agar mudah melihat dan mengobati ingatan yang timbul saat mengingatNya.

Kembali aku melanjutkan kesibukanku dirumah. Membersihkan barang- barang dapur. Mengepel rumah dan membereskan sampah yang berserakan di halaman. Sampai waktu siang semua ahirnya semua pekerjaan itu selesai. Aku istirahat duduk di depan rumah. Menghela napas sambil meminum segelas air putih yang ku ambil di dapur. Tiba- tiba ada seorang perempuan tua lewat.

“Nak, baru selesai beres- beres rumah, ya.?”

“Iya, nek. Nenek ini siapa.?” Jawabku.

“Nenek, “mampir dulu. Kelihatannya nenek capek. Habis dari mana.?”

“Nama nenek, Asih. Panggil saja Nek Asih. Nenek baru dari tetangga sebelah.”

“Saya belum pernah melihat nenek sebelumnya disini. Sepertinya nenek bukan berasal dari kampung sini?”

“Benar. Nenek berasal dari kampung sebelah. Nenek berjalan keliling kampung. Mencari belas kasih tetangga untuk nenek makan hari ini.”

Aku terkejut mendengar mendengar Nek Asih.

“Loh, keluarga nenek dimana?” aku menyambung percakapan.

“Nenek sudah tidak punya siapa- siapa lagi nak. Nenek tinggal sendiri. Suami nenek meninggal di Malaysia. Dia menjadi TKI tahun sembilan puluhan lalu. Beberapa bulan tanpa kabar. Aku khawatir. Sampai aku mendengar kabar suamiku meninggal.”

“Hemmm.” Nek Asih menghela napas.

“Aku berpikir, betapa sulitnya mencari kerja di negeri ini. Sampai suamiku harus pergi jauh ke negeri orang untuk mengais rezeki. Katanya Merdeka? Tapi dimana merdeka itu?” Nek Asih menyambung ceritanya.

“Sampai aku mendengar berita suamiku meninggal. Aku masih mengeluh betapa sulitnya mencari kerja di negeri ini!”

Sontak aku terkejut kedua kalinya mendengar cerita Nek Asih. Aku teringat mas Bandi.

Disela keterkejutanku. Nek Asih menegurku..

“Nak, boleh nenek minta air putih ini?”

“Jangan, nek. Itu bekas saya. Aku ambilkan di dalam saja.”

Reflek aku bergegas lari kedalam rumah dan mengambilkan air minum untuk nek Asih. Namun, begitu aku balik kedepan rumah. Aku dapati sisa air minumku sudah ditenggak habis olehnya. Nek asih sudah pergi.

Namun, aku masih tegak berdiri. Teringat Nek Asih dan ceritanya yang malang, mas Bandi dan mungkin juga menimpa mereka yang lain dari negeri yang sama.


Selesai

Semoga cerpen di negeri orang ini dapat menghibur pembaca.!

Berlangganan update artikel terbaru via email:

8 Komentar untuk "Cerpen: Di Negeri Orang"

  1. Keren banget jalan ceritanya, jadi terharu deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih pujiannya ..

      Tunggu update cerpen slanjutnya ya

      Hapus
  2. Keren nih tema dan alur ceritanya :D saya tunggu cerpen cerpen lainnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mas Rizki

      Oke .. dituggu ya cerpen berikitnya.

      Hapus
  3. bagus alur ceritanya, namun klimaksnya kurang.. masih terkesan menggantung, pdahal masih bisa dilanjutkan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimkasih masukannya mas Jamal jb Justinho ...

      Silahkan berkunjung kembali ...

      Hapus
  4. kisah yang eksaitit bangets mas.,. lanjutkan

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel