Cerpen Keluarga : Panggung Kehidupan

Tolongtangtugas- Malam ini kak Rasyid akan menulis cerpen keluarga berjudul Panggung Kehidupan. Cerpen yang berkisah seorang pemuda sederhana yang menjadi pengembala ternak, berubah hidupnya berkat sifat baik yang dimiliki sehingga sang majikan jatuh hati pada sang pemuda. Seperti apa kisahnya? Simak di bawah ini!

Panggung Kehidupan

Cerpen keluarga
tolongtangtugas.web.id

Hidup manusia memiliki cerita yang berbeda. Seperti pemuda di sudut timur kerajaan Yuko. Pemuda itu bernama Iko. Tidak banyak orang tahu tentang dirinya karena pemuda 19 tahun itu hidup sebatangkara. Kebanyakan orang mengenal Iko sebagai anak yang rajin bekerja. Selebihnya, tidak ada yang tahu siapa orantuanya, dan darimana asal-usulnya.

Iko memang tinggal di sudut timur kerajaan Yoko. Lokasi rumahnya jauh dari hiruk-pikuk warga kerajaan. Rumah Iko terlihat sangat sederhana, hanya terbuat dari anyaman bambu berukuran 5 x 5 meter. Sebagai anak yang tinggal sendirian, rumah itu sudah lebih dari cukup. Bagi Iko, yang penting bisa istirahat, beribadah dan makan sudah bersyukur.

Tiap pagi Iko bekerja sebagai gembala ternak milik seorang bangsawan kerajaan. Ia pulang, mengakhiri kerjanya jam 16.00 sore. Terkadang jika beruntung, majikan Iko membekali ia sisa makanan. Makanan itu masih sangat layak untuk dimakan. Kalangan bangsawan biasanya tidak mau menu makan makanan yang sama tiap waktu, pagi-siang-dan malamnya berubah menu. Jika nasib mujur, makanan bangsawan bisa Iko bawa pulang.

"Iko, ini ada sedikit sisa makanan untukmu," kata si majikan.

"Terima kasih, tuan!" jawab Iko.

"Bawalah, makan di rumahmu nanti!" Tambah majikan Iko.

Beitulah kalimat yang acap kali Iko terima saat ia ditawari makanan oleh majikannya. Pemuda itu dengan senang hati menerimanya. Dalam benaknya, makanan itu adalah rejeki dari yang maha kuasa. Ia tidak pantas menolak, lagipula makanan itu memang Iko butuhkan untuk mengobati lapar.

Sebagai seorang gembala ternak, Iko diupah tidak seberapa. Ia hanya mendapat beberapa keping perak dalam sebulan. Upah yang jauh dari kata sejahtera bagi kebanyakan orang. Namun, Iko tetaplah Iko. Tak peduli berapa upah yang didapat, bekerja adalah sebuah keharusan bagi tiap manusia untuk menyambung hidup.

Kehidupan Iko memang tak seperti pemuda seusianya. Para muda-mudi di kalangan bangsawan banyak menghabiskan waktunya berkumpul, berkuda, bahkan beberapa berjudi. Uang bagi mereka di kalangan atas adalah hal yang begitu mudah didapat. Jauh terbalik dengan kondisi yang Iko alami.

"Hai, apa kabar, Sue?" Tanya seorang anak bangsawan di kedai Feng Yu.

"Baik, bagaimana kabarmu, Tan?" Saut Sue Yuen.

"Baik, juga. Pacuan kuda hari ini, nomor berapa yang menang?" Imbuh Tantan.

"Seperti biasa, jagoanku menang. Si hitam , Wutan (nama kuda), tak mengecewakanku. Larinya kencang walau sempat saling salip dengan rivalnya yang beberapa waktu lalu sempat juara." Lanjut Sue Yuen.

"Wah, nampaknya kamu mujur. Menang berapa kamu taruhan kali ini?" Sambung Tantan.

"Lumayan, 100 keping emas." Pungkas Sue.

Kedua anak bangsawan itu terlihat asyik di kedai sambil menikmati makanannya. Kehidupan yang mereka tidak sama dengan Iko. 100 keping emas begitu mudah didapat hanya dengan menaruh taruhan pacuan kuda. Jika keping emas dan perak habis, orangtua yang memberi.

Kehidupan memang tidak selamanya sama. Langit dan bumi tak pernah duduk bersama. Iko dan anak bangsawan kaya kerajaan memiliki ceritanya masing-masing. Iko menjalani hidupnya dengan jalan ceritanya sendiri.

Seperti biasa, di pagi buta Iko berangkat dari ujung timur kerajaan menuju rumah sang majikan. Iko sampai di rumah majikannya jam 07.30 pagi. Ia memulai aktivitas dengan mengeluarkan kuda dan kerbau majikan ke tanah lapang luas. Disanalah Iko menghabiskan waktu, memperhatikan kuda-kuda serta kerbau memakan rumput. Ia duduk di bawah pohon asam yang rindang sambil sesekali melihat sekeliling.

Sudah sejak lama Iko berkerja pada bangsawan itu. Sang majikan mengenal Iko sebagai anak yang rajin dan giat bekerja. 5 tahun sudah ia bergelut dengan hewan-hewan milik bangsawan itu tanpa rasa malas. Nasib memang tidak ada yang tahu. Bekerja ikhlas dengan penuh tanggung jawab adalah modal yang luar biasa dalam kehidupan.

Tak seperti biasanya, hari itu nampak seperti berbeda. Iko didatangi sang majikan di tanah lapang itu sambil membawa makanan khas kebangsawanan miliknya.

"Iko, apakah kamu lapar?" Tanya majikannya.

"Loh, kenapa tuan ketempat ini, bukannya tuan biasa di rumah atau pergi ke kerajaan bersua dengan raja?" Sambut Iko.

"Tidak, aku ingin sekali bertemu denganmu disini. Entah kenapa, hatiku ingin sekali bertemu denganmu. Marilah makan denganku!" Lanjut sang majikan.

"Saya tidak pantas makan berdampingan dengan tuan. Tuan adalah majikan saya sedangkan saya hanya seorang budak." Iko menolaknya.

"Sudahlah, lupakan itu. Mari makan!" Majikan Iko membantahnya.

Iko larut dalam suasana yang langka itu. Entah mimpi apa dia semalam hingga sang majikan mau-maunya menemui dirinya di tanah lapang tempat ia mengembalakan hewan. Iko betanya-tanya dalam hati, ada apakah gerangan majikanku datang kemari.

Makan pun usai. Majikan Iko melanjutkan maksudnya datang menemuinya. 

"Iko, aku ingin sekali mengangkatmu menjadi anakku. Aku sudah lama ingin memiliki anak, namun sampai usiaku sekarang yang sudah 50 tahun ini belum juga dikaruniai seorang putera. Sudah 5 tahun lamanya kamu bekerja padaku, kamu meiliki sifat yang baik. Kamu adalah anak yang giat, rajin, dan sabar. Entahlah, hatiku begitu ingin serumah denganmu." Majikannya mengutaran niatnya.

Iko terdiam. Ia tidak percaya pada hal yang terjadi saat itu. Sesekali ia mencubit badannya sekedar meyakinkan diri bahwa itu bukanlah mimpi. Namun cubitan itu nyata, sakit. Iko pun menjawab niat majikannya.

"Tuan, aku tidak tahu harus berkata apa. Tuan adalah majikan saya, apakah pantas majikan menjadikan budaknya sebagai anak?" Tanya Iko lemah.

Pertanyaan Iko dijawab mantap oleh sang majikan. Tuan Fuji, majikan Iko, kokoh pada pendiriannya. Fuji tidak memberikan kesempatan menolak pada Iko. Pemuda 19 tahun itu harus mau menjadi anaknya.

"Iko, 5 tahun sudah kamu bekerja padaku. Upah yang kuberikan memanglah kecil. Aku sangat ingin memberimu upah lebih karena kebaikan sifatmu. Tinggallah bersamaku. Aku sudah mencari tahu kabar siapa dirimu. Kau hanya sebatangkara dan aku ingin memiliki putera. Tuhan memang mempertemukan kita di jalan ini." Ujar sang majikan.

Iko terlihat haru mendengar sang majikan. Tak pernah  ia sangka, tuan Fuji selama ini begitu memperhatikannya. Hatinya tersentuh pada niat baik tuan Fuji. Ia tidak kuasa menahan tangis sambil berseloroh kata-kata lemah dan memeluk tuan Fuji. Iko menerima niat baik tuan Fuji.

"Tuan, Fuji. Terima kasih atas kebaikanmu. Aku memang tinggal sendirian di ujung timur kerajaan. Orangtuaku telah lama meninggal. Ayah dan ibuku meninggal saat usiaku 12 tahun. Saat ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Terima kasih tuan telah mau mengangkatku sebagai anak." 

Waktu pun berlalu. Pemuda sederhana dari timur kerajaan Yuko kini berada di tengah keluarga baru. Iko tidak lagi berjalan dari timur kerajaan nan jauh di pagi buta. Ia kini mulai melangkahkan harinya langsung dari tempat ia bekerja. Anak tuan Fuji, bangsawan kerajaan.

Sekian ...

Demikianlah cerpen keluarga dalam website kesayangan kita kali ini. Jika kalian masih mencari cerpen lain, silahkan baca cerpen keluarga berjudul di negeri orang.

Silahkan kalian share cerpen ini pada teman-teman atau keluarga terdekat kalian agar mereka juga gemar membaca cerpen ..

Berlangganan update artikel terbaru via email:

2 Komentar untuk "Cerpen Keluarga : Panggung Kehidupan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel