Cerpen Keluarga Part 5

Tolongtangtugas - Cerpen keluarga senantiasa ditunggu oleh pembaca setia cerpen di blog kak Rasyid ini. Oleh karena itu, pada moment sore yang bahagia ini, kakak kembali menuliskan sebuah cerpen keluarga untuk pembaca di sana.

Cerpen keluarga kali ini akan menyapa penikmat cerita pendek di Nusantara dengan membawa tema "Insyaf". Berbeda seperti cerpen sebelumnya yang berjudul Di Negeri Orang dan Panggung Kehidupan, cerita yang sekarang sedikit menyentuh aspek keimanan. So, Simak cerita selengkapnya di bawah ini ..

Cerpen Keluarga karya kak Rasyid


Jalan Liku Ke Barat

Bono, begitu namanya dipanggil masyarakat sekitar. Laki-laki dewasa usia 45 tahun dengan perawakan sangar tampak jelas di wajahnya. Rambutnya gondrong menjuntai.

Sesekali rambut panjangnya diikat dengan tali rambut hitam yang selalu dibawa kemana-mana. Dari kejauhan orang-orang dapat mengenali dengan penempilannya yang serba mirip preman.

Laki-laki 45 tahun itu tinggal di kampung Randu seorang diri. Tak ada wanita yang ingin mendekati, kebanyakan dari mereka takut pada lelaki paruh baya itu. Dalam hati mereka pria 45 tahun di kampung Randu itu suka memukul.

Dugaan masyarakat pada sosok Bono memang beralasan. Dia sering membuat onar, memalak pedangang di Pasar Randu. Bahkan, tak segan Bono melemparkan ringan tangan pada pedagang disana.

Isah pedagang sayur pernah merasakannya. Dagangannya dilempar kejalanan oleh Bono akibat tidak menuruti permintaan lelaki itu. Isah pun hanya bisa menangis karenanya. Tak ada yang bisa dia lakukan, ia hanya pasrah menerimanya.

Kelakuan Bono tidak hanya menimpa Isah. Tindakan itu pula menimpa Very si penjual ikan. Pernah suatu ketika ikan-ikan dagangan laki-laki muda 21 tahun berparas tampan diambil tanpa membayar. Very merugi beberapa kali akibat kejadian tersebut.

Diakhir tindakan ringan tangan Bono, ia tak pernah merasa bersalah akan hal tersebut. Malah terpancar tawa senang saat usai melancarkan aksinya. Seperti baru mendapat hadiah besar bagi dirinya.

Begitu terus waktu berjalan. Keseharian pria paruh baya bernama Bono pada orang-orang yang dijumpai. Baginya, yang lain hanyalah alat untuk hidup. Hal utama adalah kesenangan diri sendiri.

Hasil memalak para pedagang ia gunakan untuk foya-foya. Rumah/Gubuk yang menjadi tempat tinggalnya tak pernah berubah. Begitu-begitu saja. Tak ada waktu menyisihkan uang hasil memalak di pasar untuk mengindahkan tempat tinggalnya.

Bono tinggal di gubuk yang sudah lusuh. Gubuk itu beratap jerami kering sebagai penutupnya. Dinding-dinding tempat tinggal yang didiami berlobang di sana-sini. Mungkin jika ada orang iseng ingin melihat aktivitas pria 45 tahun tersebut tampak jelas dari lobang-lobang yang ada.

Namun, hal itu sepertinya tak akan terjadi. Masyarakat kampung Randu enggan melihatnya. Bahkan untuk mendekat pun mereka tak terfikir. Yang terlintas hanyalah sikap-sikap kurang enak dari Bono yang acap kali diterima.

Hingga pada satu ketika di kampung Randu terjadi sebuah musibah yang besar. Kala itu musim hujan berlangsung begitu lama. Sungai-sungai disana menaikkan debit air ke atas permukaan. Potongan-potongan ranting pohon ikut terbawa arus derasnya air dari hulu sungai.

Kampung Randu pun dilanda banjir yang cukup besar. Gubuk Bono yang dekat dengan sungai diterjang banjir hingga 1,5 meter tingginya. Tempat tinggal satu-satunya milik Bono hanyut diterjang kencangnya arus. Beruntunglah, penghuni gubuk itu bisa selamat.

Bono selamat berkat bantuan seorang nenek tua yang sempat membangunkannya dari tidur. Di waktu air bah datang, waktu menunjukkan pukul 16.30. Lokasi sang nenek tinggal memang cukup jauh untuk ukuran seorang wanita tua berjalan. Sekitar 300 meter dari gubuk Bono.

"Nak, bangun!" Tegur Nenek.

"Eeemm. Siapa?" Jawab Bono.

"Bagunlah, Air sungai tampak semakin naik keatas. Cepat keluar, selamatkan dirimu." Sambung Nenek.

"Engkau siapa nenek tua? Kenapa bisa masuk ke Gubukku?"

"Aku tetanggamu. Rumahku cukup jauh dari sini. Cepatlah keluar. Kita harus bergegas." Tutup Nenek.

Tak diduga. Air bah yang melewati sungai saat itu begitu cepat naik. Diluar dugaan, air seketika menerjang gubuk kecil Bono. Seketika air menghanyutkan Bono sekaligus tempat tinggalnya, termasuk Nenek tua yang membangunkan pria paruh baya itu dari tidur.

Bono berteriak minta tolong dengan keras. "Tolong, tolong". Suara pekikan Bono berlalu bersama derasnya air sungai. Deburan suara air bercampur langit yang mulai gelap membenamkan hari naas saat itu.

Hawa dingin pun mulai merasuki tanah Randu. Warganya diselimuti genangan air. Tempat tinggal mereka banyak yang rusak, hanya sebagian yang selamat dari amukan air bah. Sungguh peristiwa yang tak kan terlupakan.

Diantara warga menangis harta bendanya pergi entah kemana. Suasana malam benar-benar berubah dari biasanya. Suasana malam pula menjemput usia sang Nenek yang mulia.

Di sudut kampung nan gelap gulitas. Entah angin apa yang melintas dalam pikiran pria pemilik ringan tangan pada warga Randu. Dia selamat dari amukan air yang begitu kuat menerjang gubuknya. Lelaki tersebut ingat akan si Nenek.

Bono diam tak berkata. Udara dingin serta tetesan air di bajunya tak menegur kesadarannya. Ia terus terbayang bayangan sang Nenek hingga hari esoknya menjelang.

Esoknya, warga kampung Randu mendapati Bono duduk di sudut kampungnya. Mereka heran, mengapa pria bengis sepertinya tiba-tiba sudah bisu. Satu pemandangan yang berbeda terjadi, "itu bukan Bono".

Bono yang dikenal tiap pagi sudah berjalan menyusuri kampung, hari itu duduk bisu berdiam diri. Pasar Randu pun sudah aman di hari pasca banjir sore kemarin. Sungguh pemandangan yang jarang terjadi bagi tiap warga.

Tiba-tiba teriakan seorang wanita terdengar keras, "Tolong, tolong!". Para warga menghampiri dengan sigap. "Ada apa?". "Lihat Nenek Biyung sudah tiada, tubuhnya terbujur kaku."

Warga yang mengenali Nenenk yang baik hati itu pun dengan seksama memandu tubuh renta si Nenek. Dari kejauhan, mata Bono menyorot sesosok tubuh yang digotong oleh warga. Mata Bono seperti mengenalinya.

Tubuh Bono reflek berdiri. Dengan segera ia berlari menghampiri warga disana. Bono menangis, tak kuasa melihat malaikat penyelamatnya sudah kaku tak berdaya. Sontak warga Randu heran, pemandangan langka terjadi kala kepergian Nenek Biyung pagi itu.

Pria 45 tahun yang dikenal keras dan ringan tangan tiba-tiba meneteskan air matanya deras. Bono berteriak, "Ampuni Aku Tuhan. Harusnya Aku yang Menggantikan Tubuh Renta Ini."

*Tamat*

Selesailah Cerpen Keluarga karya kak Rasyid kali ini. Jangan lupa leave komen kamu di kolom komentar yang tersemat di bawah ini.

Salam hangat

Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Komentar untuk "Cerpen Keluarga Part 5"

  1. Penyesalan memang selalu datang di akhir :(
    Pelajaran penting yang kita dapat dari kisah ini adalah kita jangan sekali-kali suka menghakimi orang lain, apalagi berbuat semena-mena. Apabila kehidupan kita susah, namun kita senantiasa berbuat baik pasti orang lain juga akan berbuat baik kepada kita. Selain itu, kita juga harus mencontoh sikap sang nenek, walaupun nenek itu tahu si bono adalah orang yang kasar, namun ia tetap mau menolong si bono dengan memberitahukannya bahwa banjir akan datang.

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel